Mikroorganisme merupakan makhluk
hidup yang sangat kecil dengan kemampuan sangat penting dalam kelangsungan daur
hidup biota di dalam biosfer. Mikroorganisme mampu melaksanakan
kegiatan atau reaksi biokimia untuk melangsungkan perkembangbiakan sel.
Mikroorganisme digolongkan ke dalam golongan protista yang terdiri dari
bakteri, fungi, protozoa, dan algae (Darwis dkk., 1992). Mikroorganisme
menguraikan bahan organik dan sisa-sisa jasad hidup menjadi unsur-unsur yang
lebih sederhana (Sumarsih, 2003). Menurut Budiyanto (2002), mikroorganisme
mempunyai fungsi sebagai agen proses biokimia dalam pengubahan
senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang berasal dari sisa tanaman dan
hewan.
Mikroorganisme lokal (MOL) adalah
mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik
padat maupun pupuk cair. Bahan utama MOL terdiri dari beberapa
komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme.
Bahan dasar untuk fermentasi larutan MOL dapat berasal dari hasil pertanian,
perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga. Karbohidrat sebagai sumber
nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari limbah organik seperti air
cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal. Sumber
glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, dan air kelapa, serta sumber
mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi
basi, dan urin sapi (Hadinata, 2008).
Menurut Fardiaz (1992), semua mikroorganisme
yang tumbuh pada bahan-bahan tertentu membutuhkan bahan organik untuk pertumbuhan
dan proses metabolisme. Mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang pada suatu
bahan dapat menyebabkan berbagai perubahan pada fisik maupun komposisi kimia,
seperti adanya perubahan warna, pembentukan endapan, kekeruhan, pembentukan gas
dan bau asam (Hidayat, 2006).
Larutan
MOL (mikroorganisme lokal) yang telah mengalami proses fermentasi dapat
digunakan sebagai dekomposer dan pupuk cair untuk meningkatkan kesuburan tanah
dan sumber unsur hara bagi pertumbuhan tanaman (Hadinata, 2008). Larutan MOL
harus mempunyai kualitas yang baik sehingga mampu meningkatkan kesuburan tanah
dan pertumbuhan tanaman secara berkelanjutan. Menurut Dale (2003), kualitas
merupakan tingkat yang menunjukkan serangkaian karakteristik yang melekat dan
memenuhi ukuran tertentu. Faktor-faktor yang menentukan kualitas larutan
MOL antara lain media fermentasi, kadar bahan baku atau substrat, bentuk dan
sifat mikroorganisme yang aktif di dalam proses fermentasi, pH, temperatur,
lama fermentasi, dan rasio C/N dalam bahan (Suriawiria,1996; Hidayat, 2006).
Lahan pertanian di Indonesia
banyak yang mengalami degradasi, ditunjukkan dengan semakin menurunnya
kandungan unsur hara, dan bahan organik dalam tanah, serta meningkatnya
pencemaran lahan pertanian karena limbah pestisida. Menurut Nugroho
(2005), degradasi lahan pertanian terjadi karena pengelolaan lahan yang tidak
tepat sehingga menyebabkan jumlah lahan kritis di Indonesia semakin bertambah
banyak. Luas lahan pertanian kritis di luar kawasan hutan mencapai 18
juta hektar pada tahun 1992 dan meningkat menjadi 25 juta hektar pada tahun
2005. Menurut Suntoro (2006), pengelolaan lahan yang kurang tepat telah mengubah fungsi tanah
sebagai ekosistem mikroorganisme tanah. Penggunaan pestisida dalam kurun
waktu yang panjang berdampak pada kehidupan biota tanah. Pupuk kimia tertentu yang
berkonsentrasi tinggi dalam waktu yang panjang menyebabkan terjadi penurunan
kesuburan tanah karena kekurangan unsur hara lainnya terutama unsur hara mikro
dan bahan organik tanah. Sekitar 60% areal sawah di Jawa mempunyai kandungan
bahan organik kurang dari 1%, sedangkan sistem pertanian dapat berkelanjutan
apabila kandungan bahan organik lebih dari 2 %. Pramono (2001 dalam
Suntoro, 2006) menyatakan, bahwa hasil analisis sampel tanah dari berbagai
daerah sentra produksi padi di Jawa Tengah seperti di Kab. Grobogan, Kab.
Sragen, Kab. Batang dan Kab. Sukoharjo menunjukkan hal yang sama, bahwa
rata-rata kandungan C-organik tanah berada di bawah 2%.
Permasalahan degradasi lahan
dapat dikendalikan dengan penerapan pengelolaan lahan secara berkelanjutan
melalui pemanfaatan potensi bahan organik yang berasal dari lingkungan sekitar.
Sumber bahan organik dapat berasal dari sisa tanaman, pupuk
kandang, serta limbah organik rumah tangga. Suntoro (2006); Atmaja &
Suwastika (2007) menyatakan, bahwa pupuk organik mempunyai kelebihan antara
lain meningkatkan kesuburan kimia, fisik, dan biologi tanah, serta mengandung
zat pengatur tumbuh yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan
pupuk cair dengan memanfaatkan jenis mikroorganisme lokal (MOL) menjadi
alternatif penunjang kebutuhan unsur hara dalam tanah. Menurut Purwasasmita
(2009), larutan MOL (mikroorganisme lokal) adalah larutan hasil fermentasi yang
berbahan dasar berbagai sumber daya yang tersedia. Larutan MOL mengandung unsur
hara makro, mikro, dan mengandung mikroorganisme yang berpotensi sebagai
perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan
penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan
pestisida organik.
Menurut Hadinata (2008), bahan
utama dalam pembuatan MOL terdiri dari tiga komponen antara lain : (1)
karbohidrat berasal dari air cucian beras, nasi basi, singkong, kentang,
gandum, rebung, rumput gajah, dan daun gamal; (2) glukosa dari gula merah,
cairan gula pasir, dan air kelapa; (3) sumber mikroorganisme berasal dari keong
mas, kulit buah-buahan, air kencing, dan terasi. Pembuatan MOL dilakukan dengan
memanfaatkan daun gamal dikombinasikan dengan air kelapa sebagai sumber
glukosa, dan urin sapi sebagai sumber mikroorganisme. Pemanfaatan daun gamal sebagai bahan baku dalam penelitian
karena tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan salah satu jenis
tanaman leguminoceae dengan kandungan unsur hara yang tinggi. Purwanto (2007) menguraikan gamal yang berumur
satu tahun mengandung 3-6% N; 0,31 % P; 0,77% K; 15-30% serat kasar;
dan 10% abu K. Berdasarkan hasil penelitian Sutari (2009), kandungan
unsur hara yang terdapat dalam larutan MOL daun gamal lebih tinggi daripada
larutan MOL dengan bahan dasar rebung, dan
rumput gajah. Kandungan unsur hara yang terdapat dalam larutan bio–urine
daun gamal terdiri dari 2,8 % N; 48,11 mg L-1 P; 14,469 mg L-1
K; 520 mg L-1 S; 48,5 mg L-1 Ca; 224 mg
L-1 Mg; 125 mg L-1 Na; 3,75 mg L-1 Fe;
54,60 mg L-1 Mn; 0,83 mg L-1 Zn; 0,241 mg L-1
Cu, dan 7455 mg L-1 Cl.
Air kelapa merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme selama proses fermentasi karena air
kelapa mengandung 7,27% karbohidrat; 0,29% protein; beberapa mineral antara lain 312 mg L-1 kalium; 30 mg L-1
magnesium; 0,1 mg L-1 besi; 37 mg L-1 fosfor; 24 mg L-1
belerang; dan 183 mg L-1 klor (Budiyanto, 2002). Urin sapi
dimanfaatkan sebagai sumber mikroorganisme dalam pembuatan MOL, karena
kotoran ternak mengandung mikroorganisme selulolitik yang membantu proses
pencernaan. Menurut Wanapat (2001 dalam Wahyudi, 2009),
bakteri dan jamur lignoselulolitik memiliki peran penting dalam proses
perombakan pakan ternak dalam bentuk selulosa di dalam rumen. Populasi
mikroorganisme selulolitik berkembang dengan baik pada ruminansia yang diberi
pakan utama berupa hijauan dengan serat yang tinggi. Menurut Lingga (1991 dalam
Syaifudin, 2010), kotoran ternak sapi cair memiliki kandungan unsur hara yang
lebih tinggi daripada kotoran ternak sapi padat. Urin sapi mengandung 1,00% N;
0,50% P, dan 1,50% K sedangkan kotoran sapi padat mengandung 0,14% N; 0,20% P,
dan 0,10% K.
Faktor-faktor yang berperan
penting dalam proses fermentasi antara lain media fermentasi, kadar bahan
baku atau substrat, pH, temperatur, waktu, bentuk dan sifat mikroorganisme yang
aktif di dalam proses fermentasi, dan rasio C/N dalam bahan (Suriawiria,1996;
Hidayat, 2006). Mikroorganisme dalam larutan MOL melakukan perombakan terhadap
bahan organik yang terdapat dalam MOL sehingga terbentuk senyawa yang lebih
sederhana. Menurut Hidayat (2006), fermentasi merupakan perubahan kimia beberapa enzim dengan memanfaatkan bakteri dan
jamur sebagai dekomposer. Perubahan kimia dari fermentasi meliputi proses
pengasaman, dan dekomposisi gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta
dekomposisi senyawa organik. Suriawiria (1996)
menyatakan bahwa proses pengomposan alami membutuhkan waktu yang
sangat lama, antara 6 bulan hingga 12 bulan, sampai bahan organik tersebut
benar-benar tersedia bagi tanaman. Penggunaan
mikroorganisme dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan
menjadi beberapa minggu. Menurut Lukitaningsih (2010), mikroorganisme mampu
mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Hidayat (2006)
menyatakan, bahwa lama fermentasi berkisar 4-14
hari, lama fermentasi yang disarankan adalah 14 hari karena bahan organik telah
mengalami proses dekomposisi.
Berdasarkan hasil penelitian
Sutari (2009), pembuatan MOL starter dilakukan dengan proses fermentasi daun
gamal dan air kelapa dengan konsentrasi 250 g L-1 air kelapa.
Perlakuan menggunakan bio-urine daun gamal menunjukkan hasil yang paling
baik pada pertumbuhan tanaman sawi dibandingkan dengan bio-urine rebung
dan bio-urine rumput gajah. Penggunaan MOL sangat murah dan
efisien karena larutan MOL menggunakan bahan alami yang terdapat di lingkungan sekitar, serta proses pembuatannya yang
sederhana. Bahan–bahan yang terdiri dari daun gamal, urin sapi, dan air
kelapa dimasukkan dalam wadah tertutup, dan difermentasi selama beberapa
minggu, setelah itu larutan MOL dapat digunakan sebagai aktivator dalam pembuatan
pupuk kompos atau dapat langsung digunakan sebagai pupuk cair.
Bahan-bahan:
- Buah-buahan yang sudah busuk. Bisa buah apa saja: pepaya, pisang,
mangga, apel, salak, dll. Sebanyak 5 kg
- Air kelapa 10 butir.
- Gula jawa 1 kg.
Cara Pembuatan:
- Limbah buah-buahan dihaluskan. Bisa dengan cara ditumbuk atau
diparut.
- Masukkan ke dalam dalam tempat (drum)
- Tambahkan air kelapa.
- Tambahkan gula.
- Semua bahan diaduk sampai tercampur merata.
- Tutup drum dengan penutu. Beri lubang untuk aerasi. Lubang aerasi ini
bisa menggunakan selang agar tidak dimasukki oleh lalat atau serangga
lain.
7. Semua bahan kemudian difermentasi selama 2 minggu
sebelum digunakan.
No comments:
Post a Comment