Seiring meningkatnya minat masyarakat
dalam membudidayakan ayam ras (broiler atau layer), maka semakin meningkat pula
permintaan masyarakat peternak terhadap unsur-unsur penunjang budidaya ayam
ras. Selain masalah perkandangan, pakan dan obat vaksin kimia (OVK), umumnya
peternak juga sangat memperhatikan terkait bibit/day old chick (DOC) yang akan
digunakan. Dengan banyaknya peternak yang menambah populasi ayam, tentunya
permintaan DOC mengalamai kenaikan. Peluang ini ternyata menjadi daya pikat
oleh perusahaan-perusahaan untuk terjun di industri penetasan, hal ini dibuktikan
dengan munculnya banyak perusahaan penetasan telur (hatchery farm) di Indonesia.
Dalam memproduksi DOC, tentunya berbagai
perusahaan mempunyai manajemen yang berbeda dalam mengelola hatchery farmnya.
Hal inilah yang nantinya mempengaruhi kualitas dan karakteristik DOC yang ada
di pasaran.
Telur
yang digunakan sebagai telur tetas adalah telur hasil perkawinan induk ayam jantan
dan betina. Pemeliharaan indukan ayam dilakukan di breeding farm dengan
manajemen pemeliharaan dan biosecurity yang telah ditentukan oleh masing-masing
perusahaan. Pemindahan telur tetas (HE) dari breeding farm menuju hatchery farm
dilakukan dengan kendaraan khusus pengangkut telur untuk meminimalisir
kerusakan HE.
Terminal Penerimaan HE
Setelah
sampai di hatchery farm, kemudian telur
di terima di terminal ruang peneriman HE. Di dalam ruangan ini HE di seleksi dan
dilakukan fumigasi. Seleksi HE bertujuan untuk memilih telur yang layak untuk
ditetaskan dan menyingkirkan telur yang tidak sesuai dengan standar. Beberapa hal
yang menjadi patokan dalam seleksi HE, diantaranya adalah bentuk, ukuran,
keadaan kerabang, kebersihan dan kondisi tidak normal lainnya. Telur yang
dinyatakan layak seleksi, kemudian dilakukan fumigasi. Fumigasi bertujuan untuk
membubuh mikroba yang dapat menurunkan daya tetas telur. Setelah dilakukan
fumigasi, selanjutnya telur disimpan sementara di cooling room.
Cooling Room
Terkadang,
produksi He dari breeding farm dalam satu hari belum bisa memenuhi kapasitas
mesin setter. Maka dari itu, HE dapat disimpan sementara dalam cooling room
sampai jumlah telur cukup untuk memenuhi kapasitas mesin setter. Telur yang
disimpan dalam cooling room bertujuan untuk menghentikan sementara proses
perkembangan biologis yang ada di dalam HE. Sehingga pada saat dimasukkan ke
dalam mesin setter, kondisi biologisnya masih seperti umur 0 (nol) hari.
Rata-rata telur tetas dapat disimpan dalam cooling room sampai batas maksimal
empat hari, jika lebih dari empat hari dikhawatirkan akan meurunkan daya tetas HE
tersebut. Pengaturan suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penyimpanan telur di tempat ini. Suhu dan kelembaban dalam cooling room idealnya
adalah 8-14◦C dan 75-77% dengan tumpul telur posisi diatas.
Setter
Mesin setter merupakan mesin yang
fungsinya dibuat mirip dengan kondisi pemeraman telur tetas oleh induk ayam
secara alami. Lamanya perlakuan HE di dalam mesin ini sekitar 18-19 hari. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dari pengaturan mesin setter diantaranya adalah
temperatur, kelembaban udara, pemutaran telur (turning) dan sirkulasi udara. Pengaturan
temperatur di mesin setter antara 98ᵒF-100ᵒF dan keseragaman temperatur di
seluruh ruangan setter mutlak diperlukan agar menghasilkan perkembangan embrio
HE yang seragam. Kelembaban udara dalam setter salah satunya dapat mempengaruhi
weight loss (penyusutan telur selama inkubasi) yang nantinya berdampak pada
daya tetas HE. Di Indonesia, umumnya kelembaban udara di mesin setter diatur
antara 50%-55% dengan target capaian weight loss sekitar 12-14% (kantung udara
telur tersisa 1/3 bagian). Pemutaran telur dalam setter (turning) bertujuan
agar seluruh permukaan telur memperoleh suhu yang merata, serta embrio dapat
memanfaatkan seluruh albumen protein yang tersedia dan mencegah menempelnya
embrio pada sel membran. Pada mesin setter kapasitas besar, Idealnya turning
otomatis dilakukan setiap satu jam sekali dengan kemiringan 45ᵒ. Sedangkan
sirkulasi dibutuhkan untuk menyeimbangkan suplai oksigen dan pembuangan gas CO2
yang ada di dalam mesin setter. Sirkulasi udara di dalam setter dapat diatur
dengan bantuan alat cerobong exhoust. Volume udara yang masuk ke setter
direkomendasikan sekitar 5 CFM per 1000 telur tetas yang dapat diukur dengan
alat anemometer.
Transfer HE dan Candling
Transfer HE umumnya dilakukan di hari ke 18 atau 19 yang dihitung sejak pertama kali
masuk mesin setter. Transfer HE merupakan kegiatan memindahkan telur dari mesin
setter ke mesin hatcher. Dalam proses ini juga sekaligus dilakukan seleksi
telur tetas yang fertil dan infertil dengan cara peneropongan (candling).
Banyak hatchery di Indonesia yang menggunakan sistem penerangan dengan meja
candling dalam melakukan seleksi telur fertil dan infertil. Saat penyinaran,
telur fertil akan terlihat merah gelap, karena di dalamnya sudah terbentuk
jaringan dan bagian-bagian tubuh DOC. Sedangkan telur infertil akan terlihat
merah terang saat dicandling, karena di dalam telur tersebut masih encer tidak
ada embrio DOC. Telur yang terkontaminasi juga akan menunjukkan ciri-ciri
tersendiri saat dicandling. Telur yang tidak layak dari hasil candling ini
kemudian disingkirkan, karena apabila telur tersebut ikut terbawa masuk ke
mesin hatcher dapat mengakibatkan menurunnya presentase daya tetas serta dapat
mencemari mesin hatcher apabila ada telur tersebut yang meledak di dalamnya.
Hatcher
Mesin hatcher merupakan tempat yang
disiapkan untuk menetasnya telur tetas fertil (hasil candling). Ditempat ini
hampir sama dengan mesin setter, namun di ruang hatcher ini tidak diperlukan
pembalikan/turning telur lagi. Pengaturan temperatur, kelembaban udara dan
sirkulasinya pun juga berbeda dengan mesin setter. Temperatur yang dibutuhkan
umumnya lebih rendah, yakni sekitar 35-37ᵒC. Sedangkan kelemban udaranya lebih
tinggi, yaitu sekitar 60%-75%. Di mesin hatcher, produksi panas dan gas CO2-nya
lebih tinggi, sehingga level kecepatan sedotan cerobong exhoust (velocity)
diatur sekitar 200-220 CFM untuk menurunkan konsentrasi CO2 di dalam ruangan.
Perlu diketahui, telur yang ada di dalam hatcher memiliki waktu menetas yang
berbeda-beda, sehingga diperlukan penyesuaian dalam mengatur kondisi lingkungan
di dalam hatcher.
Pull Chick
Setelah telur di dalam hatcher menetas,
proses selanjutnya adalah mengambil DOC tersebut atau biasa disebut dengan pull
chick. Ketepatan waktu dalam pull chick sangat mempengaruhi kualitas DOC yang
dihasilkan nantinya. Keterlambatan dalam pull chick dapat mengakibatkan DOC
kekurangan cairan/dehidrasi, sehingga saat seleksi DOC nantinya banyak yang
tidak layak/culling. Maka untuk mencegahnya, diperlukan kontrol secara berkala
sekitar 4-6 jam menjelang waktu panen pada normalnya. Setelah DOC terambil,
selanjutnya dapat dilakukan seleksi dan grading. Proses ini bertujuan untuk
memilih DOC yang layak untuk dijual, sekaligus untuk menentukan klasifikasi
grade sesuai dengan ketetapan dari masing-masing perusahaan.
Penanganan lanjutan
Penangan lanjutan ini dapat berupa vaksinasi dan
packing DOC untuk segera dipasarkan. Terkadang di beberapa perusahaan,
vaksinasi tidak mutlak dilakukan, kecuali bila ada konsumen yang memesan DOC
yang bervaksinasi.
No comments:
Post a Comment